The Rich History of Ramen in Japan

 

Ramen's origins can be traced back to Chinese wheat noodle dishes, which were introduced to Japan in the late 19th century. Initially, these noodles were not well-known, but they began to gain popularity in the early 20th century, particularly in port cities such as Yokohama and Kobe, where Chinese communities established restaurants that served noodle dishes. By the 1920s, ramen was firmly taking root in Japanese cuisine, evolving from its Chinese counterparts and developing unique characteristics.

Following World War II, Japan experienced significant changes, both socially and economically. The post-war period saw food shortages and a desperate need for inexpensive, filling meals. This environment paved the way for ramen to become a staple in Japanese diets. Ramen shops, or “ramen-ya,” began to proliferate across the country, offering affordable and comforting meals. These establishments soon became social hubs, where everyday people could gather, enjoy a bowl of ramen, and converse, reflecting the communal aspect of Japanese culture.

Distinct regional styles of ramen emerged during this period, each influenced by local ingredients and culinary traditions. For instance, Sapporo is known for its rich miso ramen, while Hakata is famous for its tonkotsu (pork bone) broth. This regional diversity illustrates how ramen not only adapted to local tastes but also how it became a canvas for culinary experimentation. Furthermore, the rise of instant ramen in the 1950s revolutionized the noodle industry, making this beloved dish accessible to everyone and reinforcing its position in Japanese society.

In essence, ramen has evolved into more than just a meal; it signifies a historical narrative interwoven with Japan's socio-economic developments. This richness underscores the significance of ramen in modern Japanese culture, representing resilience, innovation, and communal ties.

Slurping Through Japan: A Ramen Lover’s Dream

Discover the rich history of ramen in Japan, tracing its origins from Chinese wheat noodles to its evolution into a beloved Japanese dish. Explore the various types of ramen including Shoyu, Miso, Shio, and Tonkotsu, each reflecting unique regional flavors. Learn about ramen culture, including dining etiquette and communal experiences, and uncover the top ramen destinations across Japan that every foodie should visit. This journey through ramen illustrates not only culinary diversity but also the social aspects that make it an integral part of Japanese life.

Manajemen Malut United FC mengajukan permohonan perubahan jadwal kick off untuk lima sisa laga kandang di Stadion Gelora Kie Raha, Ternate pada kompetisi Liga 1 Indonesia 2024/2025 agar tidak berbenturan dengan waktu salat, terutama salat Magrib.

 

Mencermati dinamika dan banyaknya saran yang diberikan serta untuk menegakkan kewajiban dan menjaga muruah Ternate sebagai pusat peradaban Islam, manajemen Malut United FC memohon dukungan dari MUI terkait usulan perubahan jadwal pertandingan kandang Malut United di Gelora Kie Raha.

 

Direktur Teknis Malut United FC Asghar Saleh di Ternate, Selasa, telah melakukan pertemuan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Ternate di Masjid Al Munawwar dan menghasilkan rekomendasi agar jadwal kick off pertandingan digeser dari pukul 17.30 WIT menjadi pukul 20.30 WIT.

 

"Kami telah mendapatkan rekomendasi dari MUI Kota Ternate dan dalam rapat tadi, kami juga mendapat dukungan penuh dari Kesultanan Ternate melalui Mufti Kesultanan Ternate yang juga akan memberikan surat rekomendasi untuk menunda waktu kick off karena bersamaan dengan pelaksanaan salat magrib," kata Asghar.

 

Kedua surat rekomendasi tersebut disampaikan secara langsung ke PT Liga Indonesia Baru sebagai bagian dari permohonan resmi Malut United.

 

Tersisa tujuh laga kandang yang akan dijalani Malut United, dengan dua di antaranya ada bulan suci Ramadhan yang sudah ditetapkan waktu kick off-nya pada pukul 22.30 WIT dan terhadap lima partai lain yang dimulai pukul 17.30 WIT diusulkan untuk dimundurkan.

 

Asghar menjelaskan, perubahan jadwal ini diajukan untuk memberi ruang bagi para penonton dan pemain melaksanakan salat Magrib. Ia menambahkan bahwa PT LIB saat ini sedang menggelar rapat untuk membahas permohonan tersebut.

Sementara itu, Ketua MUI Kota Ternate Prof. Jubair Situmorang menyambut baik usulan ini. Menurutnya, waktu pertandingan yang berbenturan dengan waktu salat menjadi kendala bagi ribuan penonton yang hadir di stadion.

 

"Dengan penonton sebanyak 5.000–6.000 orang di stadion, sulit bagi mereka untuk beribadah dengan waktu yang sangat sempit. Kami mendukung penuh perubahan jadwal ini," ujar Prof. Jubair.

 

Baca juga: Persis Solo permalukan PSIS Semarang di kandang

 

MUI Kota Ternate juga telah mengeluarkan Surat Rekomendasi Nomor: 035/MUI-KT/2025 yang menekankan pentingnya memperhatikan waktu salat dalam penyusunan jadwal pertandingan. Dalam rekomendasi tersebut, MUI menyarankan jadwal pertandingan diubah menjadi pukul 18.30 WIT atau 20.30 WIT.

 

Ketua MUI dan Komisi Fatwa sangat mendukung keinginan manajemen karena berkaitan dengan penegakan syariat Islam sehingga MUI akan memberikan rekomendasi yang jadi bagian dari surat ke PT Liga Indonesia Baru sebagai operator Liga 1 musim ini.

Manajemen Malut United pun berharap permohonan ini bisa segera disetujui demi kenyamanan dan kemudahan bagi semua pihak yang terlibat, baik pemain maupun penonton.